LINKING THE FUTURE TO THE PAST: ARTICULATIONS OF INTERESTS IN RECENT INDONESIA AUTONOMY POLICY1
Abstract
Sejak akhir tahun 1998, Indonesia telah mengalami proses desentralisasi yang begitu cepat dan menusantara. Melalui proses ini, otoritas penentuan kebijakan dan administrasi bergeser dari pemerintah pusat di Jakarta kepada pemerintah kabupaten dan kota. Pelimpahan wewenang ini mencakup berbagai segmen perekonomian nasional dan secara signifikan merdefinisi peran dan tanggung jawab lembaga-lembaga pemerintahan di seluruh tingkatan struktur administrasi. Dengan pergeseran lokus pengambilan keputusan dari pemerintah pusat, proses desentralisasi menandai babak baru dengan melepaskan sistem pemerintahan sentralistik yang mewarnai rejim Orde Baru tahun dari tahun 1966 hingga 1998. Desentralisasi telah memunculkan perubahan-perubahan ke arah perencanaan pembangunan yang lebih demokratis, partisipatif dan transparan baik di tingkat lokal maupun nasional. Respon pemerintah daerah terhadap perubahan ini pada umumnya positif. Meski demikian, pemberlakuan regulasi yang tidak sistematis dan tidak terkoordinasi, ditambah kurangnya
sosialisasi perubahan menyebabkan pemerintah daerah menemui kesulitan dalam mengelola dan melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Bahkan, pemerintah pusat memberlakukan desentralisasi tanpa membekali terlebih dahulu penguatan kapasitas institusi di tingkat kabupaten–kota untuk menyelenggarakan fungsi kepemerintahan secara efektif. Berbagai ketidak-pastian tentang konjektur saat ini dan trajektori masa depan Indonesia bersatu terrefleksikan dengan merebaknya pertanyaan-pertanyaan tentang fungsi dan peran administrasi publik. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa
pemerintahan yang sentralistis lebih berhasil menciptakan kondisi bangsa yang stabil dan harmonis dibanding kondisi saat ini. Mereka percaya bahwa demokrasi hanya menjadi milik masyarakat menengah ke atas bukan masyarakat tingkat bawah (grassroots). Oleh karenannya, melalui kebijakan otonomi, apakah pemerintah di tingkat propinsi dan kabupaten–kota mampu menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan makmur? Apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan? Atau, apakah pertanyaan-pertanyaan semacam ini hanya bersifat sementara yang akan segera menghilang begitu ‘terpuaskan’ melalui wacana? Apa yang
pertama kali orang amati tentang kebijakan otonomi Indonesia saat ini dan bagaimana kita menginterpretasinya?
Full Text:
PDFReferences
Alfonso, Rudy & Rudolf Hauter, (2004), ‘Four Years of Regional Autonomy: Success and
Problems’ in Norbert Eschborn, Sabrina Hackel, and Joyce Holmes Richardson (eds.),
Indonesia Today: Problems and Perspectives. Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung.
Feulner, Frank, (2001), Consolidating Democracy in Indonesia: Contribution of Civil Society and
State, Working Paper 01/04, Oktober, Jakarta, UNSFIR.
Hadiwinata, Bob.S., (2003), The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and
Institutionalizing a Movement, London, Rouledge-Curzon.
Ngoedijo, Widjono, (2002), The Integration of Strategic Planning and Budgeting Approach in the
Local Planning Process and Mechanism; Key Issues, PERFORM PROJECT, Indonesia
Vergara, Victor M., (2002), Participatory Municipal Budgeting as a Tool to Establish
Accountable Governance, World Bank Institute.
World Bank, (2002), Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management
Program, Budgeting, World Bank Institute.
DOI: https://doi.org/10.31113/jia.v3i1.440
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2019 Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Jurnal Ilmu Administrasi Indexed by:
Â
@2017-2019
Jalan Cimandiri No. 34-38 Bandung
Laman: stialanbandung.ac.id
Powered by OJS (Open Jounal Systems)